Sabtu, 19 Januari 2013

Mewujudkan Sekolah Berbasis Moral


Oleh: Suliswiyadi

KRISIS multidimensi di Indonesia perlu disi-kapi dengan kearifan oleh para stakeholder di negeri kita. Salah satu krisis yang cukup mengganggu masa depan bangsa adalah krisis moral (akhlak).

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tersebut memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi transendental (lebih dari sekadar ukhrawi) yang berupa ketakwaan, keimanan, dan keikhlasan.

Kedua, dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarana, seperti pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, dan sebagainya.

Namun, fakta menunjukkan, banyak generasi bangsa yang cerdas secara akal dan terdidik secara formal serta berwawasan luas tidak memiliki jaminan mempunyai komitmen moral. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar penguasaan ilmu (transfer of knowledge). Sebab, tak terhitung orang yang melakukan itu tapi masih melanggar hukum.

Mencermati kondisi pendidikan kita, perlu upaya peningkatan mutu pengelolaan potensi peserta didik untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual secara terpadu. Mengutip pendapat Mendiknas Prof Malik Fajar MSc beberapa waktu lalu di Kampus Universitas Muhammadiyah Magelang bahwa keunggulan manusia bukan semata-mata terletak pada tingginya kecerdasan intelektual seseorang.

Manusia yang berprestasi tinggi adalah manusia yang memiliki keterpaduan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Agama dan pengetahuan adalah dua sisi yang tidak boleh dipisahkan, sebagaimana sabda Nabi bahwa tidaklah beragama orang yang tidak berakal. Akal di sini adalah alat untuk mencapai pengetahuan, sehingga orang beragama dengan baik karena optimalisasi akalnya.

Einstein juga pernah berpendapat bahwa religion without science is lime, science without religion is blind (agama tanpa pengetahuan akan lemah, pengetahuan tanpa agama akan menjadi buta).

Kota Magelang yang merupakan Kota Jasa dan Pendidikan tampaknya mempunyai keinginan untuk mewujudkan sekolah yang memiliki standar akhlak. Melalui SK Wali Kota Magelang No 421/35/112 Tahun 2002, telah ditunjuk SDN 3 Kemirirejo, SMPN 2, dan SMUN 1 Kota Magelang sebagai sekolah umum model PAI. Penunjukan ketiga sekolah tersebut berdasarkan sejumlah prestasi akademik yang telah diraih.

Namun, keberadaan sekolah berbasis agama atau moral tidak sekadar didasarkan atas penunjukan SK. Sekolah ini bisa diwujudkan dengan komitmen para pengelolanya.

Agen Moral

Sebagai figur sentral implementasi akhlak dalam lingkup sekolah, guru harus menampilkan sosok teladan. Sebab, fungsi pendidik selain mengajar juga menanamkan perilaku yang baik. Disadari, pelaksanaan sistem among ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani sebenarnya juga menempatkan keteladanan sebagai pendekatan dalam menanamkan moral pada siswa. Jadi, bukan semata-mata tugas seorang guru agama dalam persoalan akhlak, melainkan pekerjaan semua guru.

Komitmen akhlak dalam bentuk tugas guru selama di sekolah adalah penampilan secara moral dapat menumbuhkan motivasi berperilaku siswa. Misalnya, guru datang awal di sekolah dan menyambut para siswa dengan berjabat tangan serta memberikan salam kepada para siswa.

Proses pembelajaran adalah aspek yang memiliki fungsi psikologi dalam produktivitas pendidikan. Karena itu, sekolah berbasis moral harus menempatkan pembelajaran sebagai proses yang menghasilkan akhlak siswa dibangun secara efektif.

Peran pembentuk akhlak bukan dari pembelajaran agama saja, melainkan dari semua pembelajaran bidang studi yang dirancang berdasarkan potensi IQ, EQ, dan SQ.

Nilai Agama

Sekolah berbasis moral harus menampilkan ciri pembelajaran dengan pendekatan empirik-normatif integral, yaitu pembelajaran melalui pengintegrasian fakta empiris dengan nilai agama. Pada pembelajaran bidang studi umum biasanya mengajarkan fenomena empiris.

Dengan pendekatan ini, guru harus mengintegrasikannya dengan nilai-nilai agama. Pembelajaan agama yang selalu normatif juga harus digeneralisasikan secara empiris.

Hal yang tidak kalah penting dalam membentuk akhlak siswa adalah kegiatan ekstrakurikuler. Sebab, kegiatan ini lebih mengarah pada pengembangan keterampilan siswa. Sekolah berbasis moral harus menampilkan kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk islamic center sebagai pusat unggulannya.

Kegiatan tersebut harus memberikan penyadaran akan pentingnya kedisiplinan agama dan bukan sekadar rutinitas dan formalitas. Lingkungan sekolah ditata dengan menampilkan suasana agamais. Misalnya, gambar-gambar yang mendorong keteladanan, tulisan-tulisan yang mengajak kebaikan dan kedisiplinan, dan sebagainya.
Kegiatan penalaran dan kajian agama dilaksanakan dalam bentuk peringatan hari besar agama, kajian Ahad pagi, dan halakah-halakah. Adapun pembentukan disiplin ibadah dilakukan melalui kegiatan shalat berjamaah, Ramadhan di sekolah, pembagian zakat fitrah, latihan berkurban, dan lain-lain.

Sumber: Suara Merdeka